PANDUGA.ID, SEMARANG – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah menolak rencana penerapan jadwal enam hari sekolah dalam sepekan. Penolakan juga muncul dari sejumlah siswa dan guru di Kota Semarang karena kebijakan tersebut dinilai memberatkan dan tidak memiliki dasar kajian yang kuat.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Ketua PGRI Jateng, Muhdi, menyebut wacana tersebut sebagai langkah mundur dalam kebijakan pendidikan. Ia mengatakan pemerintah sebelumnya telah mengubah jadwal sekolah dari enam hari menjadi lima hari dengan pertimbangan yang rasional, terutama untuk memberikan waktu lebih bagi anak bersama keluarga.
“Tidak ada alasan yang cukup untuk mengubah kembali. Pendidikan anak itu tidak hanya oleh guru, tetapi juga tanggung jawab orang tua,” kata Muhdi, Minggu (23/11/2025).
Menurutnya, sekolah saat ini belum mampu menyediakan seluruh fasilitas untuk mendukung pengembangan soft skill dan hobi siswa. Karena itu, dua hari libur akhir pekan dibutuhkan untuk memberi ruang bagi anak bersosialisasi dan mengikuti aktivitas positif di masyarakat. Ritme lima hari sekolah juga dinilai membantu menjaga keseimbangan hidup bagi guru.
“Guru itu juga orang tua. Mereka butuh dua hari untuk berkumpul dengan keluarga dan memulihkan fisik dan mental. Kalau enam hari, makin berat,” tegasnya.
Muhdi turut menilai argumen bahwa enam hari sekolah dapat mencegah perilaku negatif siswa tidak berdasarkan kajian memadai. Ia mencontohkan banyak aktivitas siswa justru terjadi pada hari sekolah.
Selain itu, tren global dinilai bergerak menuju pengurangan hari sekolah, seperti di Eropa, Amerika, dan Skandinavia yang umumnya menerapkan empat hingga lima hari belajar.
Muhdi menambahkan bahwa PGRI Jateng belum pernah dilibatkan dalam pembahasan wacana tersebut. Padahal, organisasi profesi seharusnya ikut dalam penyusunan kebijakan pendidikan sesuai amanat undang-undang.
Sementara itu, guru SMAN 7 Semarang, Ashfi (32), juga menyatakan keberatannya. Ia menilai kebijakan enam hari sekolah hanya menambah beban guru, terutama yang tinggal di luar kota. Rencana jam pulang siswa pada Sabtu pukul 15.00 WIB dinilai akan menambah beban transportasi.
“Guru juga punya keluarga. Masa kami harus merawat anak orang lain, tetapi anak kami sendiri tidak dipikirkan?” ujarnya.
Ashfi juga menyoroti ketidakadilan jika guru fungsional diwajibkan masuk pada hari Sabtu sementara pegawai struktural di dinas tetap libur. Menurutnya, penerapan lima hari belajar sejauh ini sudah efektif, baik bagi siswa maupun guru.
Ia mempertanyakan rencana rotasi guru untuk mendekatkan tempat tinggal karena dianggap tidak realistis. Selama ini, proses rotasi berlangsung rumit dan sering menimbulkan kekurangan guru di beberapa sekolah.
“Semester ini saja sudah tiga sampai empat kali relokasi. Sekolah jadi repot menyusun jadwal. Saya sampai mengajar biologi padahal saya guru kimia,” katanya.
Ashfi menilai pemerintah seharusnya fokus pada persoalan yang lebih mendesak, seperti distribusi guru dan penataan administrasi, bukan mengubah jadwal sekolah yang sudah berjalan baik.(CC-01)





Discussion about this post