PANDUGA.ID, SEMARANG — Tangis itu pecah di ruang sidang Pengadilan Negeri Semarang. Bukan karena sorak kemenangan, melainkan luka mendalam yang terungkap dalam fakta persidangan. Seorang bayi mungil berusia satu bulan 25 hari, NA, meregang nyawa di tangan ayah kandungnya sendiri — seorang anggota kepolisian aktif berpangkat Brigadir bernama Ade Kurniawan.
Ironisnya, hubungan darah antara Ade dan sang bayi bahkan telah dibuktikan secara ilmiah lewat tes DNA. Namun, meski terbukti sebagai ayah kandung dengan tingkat kepastian 99,99999 persen, Ade menolak untuk menikahi ibu sang bayi, DJP. Ia hanya bersedia memberi nafkah bulanan. Keputusan itu menjadi bara konflik yang membakar hubungan mereka.
“Anakmu, tapi bukan tanggung jawabmu seutuhnya?”
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Nenden Rika Puspitasari, Jaksa Penuntut Umum Saptanti mengungkap fakta mencengangkan: Tes DNA dilakukan pada Januari 2024, tepat saat DJP baru hamil lima minggu. Probabilitas hasilnya menunjukkan 1,7 triliun kali lebih besar kemungkinan Ade sebagai ayah dibanding laki-laki lain di populasi yang sama.
Namun pengakuan itu tak membuat Ade luluh. Ia memilih menjauh secara emosional, hanya menjalin komunikasi seputar kebutuhan sang bayi.
Sementara DJP dan keluarganya, yang merasa ditelantarkan secara tanggung jawab emosional, kerap meluapkan amarah dengan kata-kata kasar kepada Ade. Ini pula yang kemudian disebut jaksa sebagai pemicu emosi tersangka hingga pada akhirnya melakukan kekerasan.
Momen Kematian di Tengah Kesibukan Belanja
Puncak kekerasan terjadi pada 2 Maret 2025, saat keduanya hendak berbelanja ke Pasar Peterongan. Bayi NA, yang saat itu digendong oleh Ade, diduga menjadi pelampiasan kemarahan dan kejengkelan sang ayah.
“Terdakwa menggunakan jari jempol dan telunjuk pada bagian kepala bayi satu kali disertai rasa kesal dan jengkel atas perlakuan dan perkataan kasar dari DJP,” kata Jaksa Saptanti.
Tangis bayi itu sempat terdengar selama tiga menit. Ade mengaku panik ketika melihat bayinya sesak napas, tubuhnya lemas, dan wajahnya pucat. Setelah DJP kembali ke mobil usai belanja, keduanya terlibat percakapan singkat — hingga DJP menyadari sesuatu yang mengerikan.
“Bibir bayinya membiru. Saat ditepuk-tepuk, tidak ada respons,” lanjut Saptanti.
NA dilarikan ke rumah sakit. Meski sempat mendapat perawatan intensif, nyawa sang bayi tak tertolong. Pada 3 Maret 2025 pukul 14.00 WIB, NA dinyatakan meninggal dunia akibat cairan di paru-parunya.
Sidang Berlanjut, Rasa Kehilangan Tak Pernah Usai
Kini, Brigadir Ade Kurniawan duduk di kursi terdakwa. Dia diadili bukan sekadar karena kehilangan kendali, tapi karena kehilangan kemanusiaan. Proses hukum masih berjalan, tapi luka yang ditinggalkan atas kematian bayi tak berdosa itu jelas tak akan pernah sembuh.(CC-01)