PANDUGA.ID, SEMARANG – Belum lama ini, paguyuban sopir truk dari berbagai wilayah di Pulau Jawa menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan pemerintah yang berupaya menertibkan truk ODOL (Over Dimension Over Load). Mereka menuntut agar aturan pelarangan ODOL dibatalkan, termasuk sanksi terhadap pemilik armada.
Tuntutan ini sangat memprihatinkan. Sebab, praktik ODOL tidak hanya melanggar hukum dan merugikan infrastruktur negara, tapi juga mengancam keselamatan pengemudi dan pengguna jalan lainnya.
ODOL Itu Bahaya, Bukan Solusi
Truk ODOL adalah truk yang memuat barang melampaui batas berat dan ukuran yang telah ditentukan oleh pabrikan kendaraan. Praktik ini memaksa kendaraan bekerja melebihi kapasitasnya, sehingga rawan mengalami gangguan teknis: mulai dari gagal menanjak, rem blong, hingga terguling.
Kondisi tersebut tak hanya merugikan pemilik truk ketika kendaraan rusak, tetapi juga menciptakan risiko kematian di jalan raya.
Fakta Kecelakaan: Truk ODOL Bukan Sekadar Potensi, Tapi Realita
Pada Kamis, 26 Juni 2025, terjadi dua insiden kecelakaan yang diduga melibatkan truk ODOL:
-
Boyolali, pukul 05.30 WIB:
Truk tronton pengangkut kertas bernopol AD 8821 QU terguling di tanjakan karena tidak kuat menanjak, lalu mundur menimpa minibus Hiace dari arah belakang. Akibatnya, satu kendaraan pribadi rusak berat dan menimbulkan korban. -
Sukoharjo, pukul 06.20 WIB:
Truk tronton bermuatan hebel mengalami pecah ban dan menghantam pembatas jalan di depan Mako Kopassus Kartasura. Truk terguling dan menutup badan jalan, sehingga arus lalu lintas harus direkayasa. Evakuasi pun memakan waktu hingga 4 jam.
Apakah kita masih akan membiarkan praktik ODOL terus beroperasi jika nyawa menjadi taruhannya?
Kerugian Negara & Masyarakat
Truk ODOL mempercepat kerusakan jalan. Padahal, jalan aspal dan beton memiliki batas daya dukung beban. Saat dilintasi truk yang membawa muatan berlebih, kerusakan jalan tak bisa dihindari. Jalan menjadi berlubang, bergelombang, dan membahayakan semua pengguna jalan.
Biaya perbaikan jalan akibat ODOL ditanggung oleh negara yang berarti uang rakyat. Jadi, praktik ODOL bukan hanya soal keselamatan, tapi juga pemborosan anggaran dan ketidakadilan sosial.
Regulasi Harus Ditegakkan
Alih-alih menolak penertiban ODOL, seharusnya para pengusaha dan sopir armada bekerja sama mencari solusi. Misalnya dengan menyusun ulang sistem logistik, menambah jumlah armada, atau berinvestasi pada angkutan berstandar nasional. Pemerintah juga perlu mempercepat pembangunan jalur distribusi barang berbasis kereta api dan pelabuhan.
Bagi pemerintah, solusi jangka pendek yang bisa dilakukan dengan menerapkan subsidi tarif tol Tans Jawa. Seharusnya truk masuk dalam golongan 1 tarif tol. Sehingga akan menstimulus pemilik armada supaya truknya dilewatkan jalur tol yang sudah terhubung dari ujung barat hingga ujung timur pulau Jawa.
Menolak ODOL bukan berarti anti-pengemudi truk. Justru, pemerintah ingin melindungi para sopir dari ancaman kecelakaan fatal karena sistem kerja yang dipaksakan oleh kondisi armada tak layak.(*)