PANDUGA.ID, SEMARANG – Insiden penyekapan terhadap seorang anggota intelijen polisi di tengah aksi peringatan Hari Buruh (May Day) di Semarang pada 1 Mei 2025 berbuntut panjang. Kini, dua mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) telah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Penetapan ini diumumkan oleh Kapolrestabes Semarang, Kombes Syahduddi, dalam konferensi pers pada Jumat, 16 Mei 2025.
Menurut Kapolrestabes Semarang, peristiwa bermula saat anggota intel Polrestabes Semarang berinisial ERF (29) sedang melakukan dokumentasi terhadap massa aksi di sekitar Jalan Imam Barjo. Saat itu, korban mendapati sejumlah peserta aksi diduga merusak fasilitas umum. Ia kemudian merekam situasi tersebut sebagai bagian dari tugas intelijen.
Namun, salah satu peserta aksi mengetahui identitas korban dan langsung meneriakinya sebagai polisi.
“Salah satu pelaku kemudian merangkul korban, pura-pura bersahabat, lalu membawanya ke kerumunan massa,” ungkap Syahduddi.
Dari keterangan korban, ERF mengaku mendapatkan perlakuan kekerasan. Ia dipukul oleh beberapa orang dan bahkan disundut dengan rokok.
“Pelaku juga mengintimidasi korban sambil melakukan siaran langsung melalui Instagram. Ini yang membuat insiden itu viral di media sosial,” tambah Kapolrestabes.
Kepolisian bergerak cepat setelah korban melapor sehari setelah kejadian. Melalui pengumpulan barang bukti, seperti rekaman video, footage drone, CCTV, dan unggahan di media sosial, polisi berhasil mengidentifikasi dan menangkap dua mahasiswa Undip yang terlibat aktif dalam penyekapan.
Namun penyidikan belum berhenti di sana. Syahduddi menegaskan bahwa masih ada pelaku lain yang turut serta dalam kejadian tersebut dan saat ini tengah diburu.
“Kami pastikan akan terus mencari dan memburu para pelaku lainnya. Ada sekitar tiga atau empat orang yang sudah kami profiling dan akan segera kami panggil,” ujarnya.
Kedua mahasiswa tersebut dikenakan Pasal 333 ayat 1 KUHP tentang penyekapan, dengan ancaman hukuman maksimal delapan tahun penjara. Mereka juga dikenai pasal subsider, yakni Pasal 170 ayat 2 KUHP tentang penganiayaan secara bersama-sama, dengan ancaman pidana tujuh tahun.
“Ini bukan hanya soal penyerangan terhadap individu, tapi juga gangguan terhadap aparat negara yang sedang menjalankan tugas,” tutup Kapolrestabes Semarang.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut kebebasan berpendapat yang tercoreng oleh aksi kekerasan terhadap aparat. Penanganan yang tegas dari kepolisian menjadi sinyal penting bahwa aksi massa tetap harus berjalan dalam koridor hukum, bukan kekerasan.(CC-01)