PANDUGA.ID, BANJARNEGARA — Dua kursi kecil disiapkan di ruang kepala sekolah. Bukan untuk tamu atau rapat guru. Tapi untuk dua siswa baru, satu-satunya yang mendaftar di SD Negeri 10 Krandegan, Banjarnegara, tahun ajaran ini.
“Tahun ini cuma dua anak. Tahun lalu masih tujuh, sekarang tinggal dua,” ujar salah satu guru, Selasa (15/7/2025), dengan nada pasrah bercampur sedih.
Fenomena menyusutnya jumlah peserta didik baru di SDN 10 Krandegan bukan baru kali ini terjadi. Namun, tahun ini menjadi titik terendah. Sekolah yang dulu ramai oleh tawa anak-anak, kini hanya menyambut dua siswa di kelas 1. Padahal, pihak sekolah sudah melakukan berbagai upaya: menyambangi rumah warga satu per satu, berkoordinasi dengan komite sekolah, bahkan menyampaikan ajakan langsung kepada orang tua murid di lingkungan sekitar.
Namun usaha itu seolah tak cukup. Banyak orang tua memilih mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah lain yang lebih besar, dengan fasilitas yang lebih lengkap.
“Di sekitar sini memang ada SD besar seperti SD Argasoka, SDN 4 Krandegan, dan beberapa SD swasta. Jadi kemungkinan warga lebih memilih ke sana,” jelasnya.
Bersekolah di Ruang Kepala Sekolah
Dengan hanya dua siswa dan sejumlah ruang kelas yang rusak, pihak sekolah harus beradaptasi. Ruang kepala sekolah pun disulap menjadi ruang kelas darurat. Ada juga siswa yang belajar di ruang perpustakaan.
“Karena satu ruang kelas kondisinya rusak, jadi terpaksa kami manfaatkan ruangan lain. Yang penting anak-anak tetap bisa belajar dengan nyaman,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan, para guru tetap datang seperti biasa. Mereka berdedikasi penuh meski yang dihadapi hanya segelintir siswa. Semangat mengajar tak surut meski jumlah murid tak sebanding dengan jumlah meja di kelas.
Sekolah yang Tetap Berdiri, Meski Sunyi
SDN 10 Krandegan adalah potret kecil dari banyak sekolah pinggiran yang terseok menghadapi persaingan di tengah gempuran sekolah unggulan, swasta, dan minimnya angka kelahiran di pedesaan.
“Kami ingin tetap bertahan. Kalau tidak ada sekolah, anak-anak di sekitar sini harus jalan jauh. Kasihan mereka,” tuturnya.
Kini, sekolah itu tetap berdiri. Meskipun sunyi. Meskipun hanya dengan dua pasang sepatu kecil di depan pintu setiap pagi.(CC-01)