PANDUGA.ID, JAKARTA – Sejumlah asosiasi pengembang perumahan angkat bicara soal rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang akan mengurangi batasan minimal luas rumah subsidi dalam draf aturan baru. Langkah ini dinilai berpotensi menurunkan kelayakan hunian dan memicu dampak negatif jangka panjang.
Isi Draf Aturan Baru Kementerian PKP
Dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, terdapat perubahan signifikan pada batas minimal luas rumah subsidi, sebagai berikut:
Komponen | Aturan Lama (2023) | Draf Aturan Baru (2025) |
---|---|---|
Luas Tanah Minimal | 60 m² | 25 m² |
Luas Bangunan Minimal | 21 m² | 18 m² |
Luas Tanah Maksimal | 200 m² | 200 m² |
Luas Bangunan Maksimal | 36 m² | 36 m² |
REI: Harus Mengacu pada WHO dan SNI
Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), Joko Suranto, menyebut bahwa alasan pengurangan ini bisa jadi berkaitan dengan keterbatasan lahan dan harga tanah mahal, terutama di kota-kota besar. Namun, ia mengingatkan pentingnya standar kelayakan rumah.
“Standarnya ada WHO, ada SNI, itu harus menjadi acuan. Kecuali SNI diubah terlebih dahulu,” kata Joko, Jumat (30/5/2025).
- Menurut WHO, luas ideal rumah: 10–12 m²/orang
- Menurut SNI, luas ideal rumah: 9 m²/orang
“Jika 1 rumah dihuni oleh 4 orang, minimal luasnya harus 36 m² menurut SNI, atau 40–48 m² menurut WHO,” tambah Joko.
Apersi: Rumah Subsidi Jangan Jadi Rumah Sementara
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah, memperingatkan bahwa rumah dengan luas di bawah 9 m² per jiwa tidak sehat dan berpotensi memicu kekumuhan.
“Pemilik tidak bisa menambah luas bangunan, tidak layak bagi yang ingin punya anak, dan akhirnya hanya menjadi rumah sementara,” ujar Junaidi.
Apersi mengusulkan agar aturan baru ini hanya berlaku di kota besar dengan keterbatasan lahan ekstrem. Sedangkan di daerah lainnya, tetap merujuk pada aturan sebelumnya yang lebih ideal secara ruang hidup.(CC-01)